Bogor | LiputanJurnalis.com – Keputusan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Bogor yang diduga mengeluarkan (drop out/DO) seorang siswa kelas XII hanya beberapa bulan sebelum kelulusan menuai sorotan tajam publik. Kebijakan tersebut dinilai mengabaikan prinsip pembinaan dan berpotensi mencederai hak dasar peserta didik.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, keputusan itu disebut diambil langsung oleh Kepala MAN 4 Bogor, Deden, tanpa didahului tahapan pembinaan, peringatan tertulis, maupun mekanisme musyawarah yang melibatkan orang tua siswa secara layak.
Upaya konfirmasi yang dilakukan awak media bersama orang tua siswa pun disebut tidak membuahkan hasil. Pendamping orang tua siswa, Nunuy, mengungkapkan bahwa kedatangan mereka bertujuan mencari solusi terbaik, namun justru direspons dengan sikap tertutup dan bernada tinggi.
“Kami datang baik-baik untuk bermusyawarah, tapi dibentak dan langsung disuruh mencari sekolah lain. Tidak ada dialog,” ujarnya.
Orang tua siswa, Abub, menegaskan bahwa anaknya tidak pernah melakukan pelanggaran berat yang dapat dijadikan dasar sanksi pemecatan. Ia menilai kebijakan tersebut tidak mencerminkan fungsi pendidikan sebagai ruang pembinaan.
“Anak saya tinggal sekitar empat bulan lagi lulus. Kalau ada kesalahan, seharusnya dibina, bukan langsung dikeluarkan,” tegas Abub.
Pengamat pendidikan Kabupaten Bogor, Asep Saepuloh, menilai langkah tersebut berisiko merusak masa depan siswa dan berpotensi bertentangan dengan prinsip keadilan pendidikan. Menurutnya, sanksi DO merupakan langkah terakhir yang hanya dapat diterapkan dalam kondisi pelanggaran berat dan berbahaya.
“Sekolah tidak boleh mengambil keputusan ekstrem tanpa proses pembinaan yang jelas dan terukur. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan,” ujarnya.
Secara normatif, Pasal 31 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Hal ini diperkuat Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan hak peserta didik untuk memperoleh layanan pendidikan sesuai bakat dan kemampuannya.
Selain itu, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mewajibkan satuan pendidikan memberikan pembinaan dan perlindungan terhadap anak serta menjamin keberlanjutan pendidikan, bukan menghentikannya secara sepihak.
Atas dasar tersebut, sejumlah pihak mendesak Kementerian Agama Kabupaten Bogor hingga Kemenag Provinsi Jawa Barat untuk segera turun tangan melakukan klarifikasi dan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan MAN 4 Bogor. Kemenag sebagai institusi pembina madrasah negeri dinilai memiliki tanggung jawab moral dan administratif untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hak peserta didik.
Desakan juga diarahkan agar Kemenag membuka ruang mediasi, meninjau ulang keputusan DO tersebut, serta memastikan siswa yang bersangkutan tetap memperoleh hak pendidikan hingga kelulusan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak MAN 4 Bogor maupun Kementerian Agama setempat belum memberikan keterangan resmi. Publik kini menanti langkah tegas otoritas terkait agar persoalan ini tidak berlarut dan tidak menjadi preseden buruk di lingkungan madrasah negeri.
Kasus ini menegaskan pentingnya peran negara dalam menjamin pendidikan sebagai hak dasar, bukan sekadar kebijakan administratif yang dapat diputuskan secara sepihak.
( Redaksi )
