-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Pejabat Labura Serempak Bungkam, Dugaan Pungli di Damuli Pekan Disinyalir Dilindungi Sistemik

Minggu, 21 Desember 2025 | 07.20.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-21T15:22:24Z

Labura, LiputanJurnalis.com -Aroma busuk dugaan pungutan liar (pungli) dalam pengurusan administrasi pertanahan di Desa Damuli Pekan, Kecamatan Kualuh Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), kian menyengat. Bukan hanya dugaan kutipan ilegal yang menjadi sorotan, tetapi juga sikap bungkam berjamaah para pejabat terkait yang seolah menutup mata dan telinga terhadap jeritan masyarakat.

Kepala Desa Damuli Pekan berinisial MRT hingga kini memilih diam seribu bahasa meski telah berulang kali dikonfirmasi terkait dugaan pungli dalam proses penandatanganan Surat Keterangan Tanah (SKT). Sikap ini menimbulkan pertanyaan serius: apa yang sebenarnya disembunyikan?

Ironisnya, pembiaran tersebut diduga tidak berdiri sendiri. Camat Kualuh Selatan Suhedi serta Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Labura M. Nur Lubis juga kompak bungkam saat dimintai klarifikasi. Padahal, secara struktural, merekalah pihak yang memiliki kewenangan pengawasan langsung terhadap pemerintahan desa.

Sikap diam para pejabat ini memunculkan dugaan kuat bahwa praktik pungli bukan lagi sekadar penyimpangan oknum, melainkan telah berubah menjadi pola sistemik yang diwariskan dan dianggap lumrah—bahkan disinyalir sebagai “tradisi” ilegal yang dipelihara.

Pembiaran tersebut merupakan bentuk kegagalan serius dalam tata kelola pemerintahan. Negara hadir bukan untuk membebani rakyat dengan pungutan tak sah, melainkan melindungi hak-hak masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan.

Secara hukum, praktik pungli bukan pelanggaran ringan. Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan, pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dengan memungut biaya di luar ketentuan resmi dapat dijatuhi hukuman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.

Lebih jauh, pejabat pengawas yang mengetahui namun membiarkan praktik tersebut berlangsung berpotensi dijerat Pasal 421 KUHP, dengan ancaman pidana hingga 2 tahun 8 bulan penjara. Artinya, sikap diam bukanlah posisi netral, melainkan dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara tegas melarang segala bentuk pungutan di luar ketentuan resmi. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada sanksi administratif berat, termasuk pemberhentian dari jabatan.

Publik kini menunggu keberanian aparat penegak hukum, inspektorat, dan lembaga pengawas untuk turun tangan secara serius. Jika dibiarkan, praktik ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga akan menjadi preseden buruk yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap negara.

Diamnya pejabat hari ini, bisa menjadi jerat hukum di kemudian hari.


(Nn)

×
Berita Terbaru Update