Labuhanbatu Utara, LiputanJurnalis.com- Dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindakan intimidatif kembali mencuat. Kali ini, seorang oknum yang disebut-sebut sebagai anggota Polisi Militer (PM) TNI diduga melakukan ancaman terhadap warga sipil dalam konflik sengketa lahan perkebunan sawit di areal Pirlok, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sabtu (14/12/2025) sekitar pukul 11.17 WIB.
Korban, Rosmidawati, ahli waris Hasan Basri Purba, mengaku mengalami kerugian material hingga ratusan juta rupiah akibat penghalangan panen dan intimidasi yang diduga dilakukan pihak ketiga dengan melibatkan oknum aparat.
Rosmidawati menjelaskan, lahan perkebunan sawit tersebut telah dikuasai dan dikelola oleh ayahnya selama kurang lebih 20 tahun. Namun, sejak satu tahun terakhir, keluarga korban tidak lagi dapat memanen hasil kebun karena adanya ancaman dan larangan dari pihak lain.
Pihak yang diduga melakukan penguasaan sepihak tersebut diketahui berinisial AR, yang mengaku memegang surat kuasa dari Nurminah Boru Juntak untuk menjaga lahan yang diklaim miliknya. Ketegangan memuncak ketika seorang pria yang diidentifikasi warga sebagai anggota Polisi Militer, sekaligus anak dari AR, datang ke lokasi dan mengancam para pemanen sawit.
“Kenapa kalian memanen sawit ini? Mana surat kalian? Ini tanah Tante Nurminah Boru Juntak. Awas kalian, saya laporkan kalian,” ujar oknum tersebut dengan nada ancaman, sebagaimana ditirukan korban.
Seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya membenarkan identitas oknum tersebut.
“Dia itu anaknya AR, anggota PM Bang, tugasnya di Cikampak. Dialah yang selama ini mengancam, siapa pun yang memanen sawit di situ katanya akan dipenjara,” ungkap warga tersebut.
Adik korban, Rosmeri Br Purba, menambahkan bahwa sejak ayah mereka sakit, keluarga sama sekali tidak dapat mengambil hasil kebun. Setiap upaya panen selalu dihalangi dengan ancaman yang mengatasnamakan keterlibatan anak AR sebagai anggota Polisi Militer.
“Semua orang takut memanen karena selalu diancam. Kami sudah lebih setahun tidak menikmati hasil kebun sendiri,” ujar Rosmeri dengan nada geram.
Dengan estimasi produksi sekitar 3 ton per sekali panen, pihak keluarga memperkirakan kerugian yang dialami telah mencapai ratusan juta rupiah. Ironisnya, pada hari kejadian, para pembeli sawit juga disebut dilarang membeli hasil panen Rosmidawati, sehingga kerugian korban semakin bertambah.
Kasus ini mendapat sorotan keras dari aktivis Mahasiswa Nomensen, Gunawan Situmorang. Ia mengecam keras dugaan keterlibatan oknum Polisi Militer dalam sengketa lahan warga sipil.
“Apa kepentingan Polisi Militer mengamuk di lahan sengketa sampai mengancam warga? Ini jelas melanggar kode etik dan disiplin militer,” tegas Gunawan.
Menurutnya, sengketa lahan merupakan ranah hukum perdata dan tidak boleh diintervensi aparat berseragam, terlebih dengan ancaman. Keterlibatan oknum PM dalam konflik sipil ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
Gunawan menegaskan, tindakan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer (HDM), khususnya kewajiban prajurit untuk menjaga sikap, kehormatan diri, serta nama baik institusi TNI. Ancaman terhadap warga sipil di luar tugas kedinasan merupakan pelanggaran serius terhadap etika profesi militer.
“Kasus ini akan saya kawal sampai tuntas. Jika perlu, kami akan melakukan aksi unjuk rasa demi menuntut keadilan dan menciptakan rasa aman di tengah masyarakat,” pungkas Gunawan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak terkait, termasuk komandan kesatuan tempat oknum PM tersebut bertugas di Cikampak, didesak untuk segera melakukan investigasi internal dan mengambil tindakan tegas apabila terbukti terjadi pelanggaran disiplin dan penyalahgunaan wewenang.
(Nn)
